Selasa, 14 Maret 2017

Memilih Pemimpin



Artikel Kelima

MEMILIH PEMIMPIN TANPA MELALUI PARTAI DAN JENJANG NAIK DARI KETUA RT SAMPAI PRESIDEN

Oleh: Aryandi Yogaswara


Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa


Tulisan ini meneruskan konsep 7 lapis langit pemerintahan dari RT sampai dengan Presiden di artikel kedua, tentang gagasan sistem pemerintahan, khususnya proses pemilihan para pemimpin kita berdasarkan sila ke 4 Pancasila: Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Hasil Pemilu Indonesia pertama pada tahun 1950 menunjukan bahwa mayoritas penduduk Indonesia pada dasarnya terbagi menjadi tiga golongan besar:

1. Agama atau haluan kanan. Idealismenya adalah kesesuaian antara Firman Tuhan dan jalannya pemerintahan. Ketika kitab Suci dijadikan panduan, maka haluan ini meyakini bahwa bangsa Indonesia akan berjaya karena mendapat Rahmat Ilahi.

2. Kapitalisme dan Liberalisme, atau golongan menengah yang fokus pada pembangunan ekonomi dan pendidikan dalam membangun bangsa dengan mengutamakan kapital atau modal sebagai sumber daya yang utama untuk memajukan bangsa

3. Nasionalisme, Marhaenisme, dan Sosialisme atau haluan kiri yang memiliki semangat membela golongan kelas bawah yang banyak di Indonesia agar tidak dimanfaatkan dan didominasi oleh golongan kelas menengah atau yang diistilahkan dengan kaum borjuis

Kelak pada masa Orde Baru kenyataan dominasi pandangan politik rakyat Indonesia menjadi dasar penetapan partai politik hanya menjadi 3 yaitu:

1. PPP
2. Golkar
3. PDI

Pada masa Era Reformasi, partai-partai kembali menjadi banyak dan pada akhirnya menjadi sumber kegerahan bagi sebagian masyarakat Indonesia, khususnya rakyat banyak ketika melihat partai-partai yang mendominasi perpolitikan cenderung bertikai dan mementingkan dirinya sendiri daripada fokus pada kepentingan bangsa Indonesia dalam suatu kesatuan.

Ide yang disampaikan dalam tulisan ini didasari keyakinan bahwa sudah saatnya tiga golongan besar yang ada di masyarakat Indonesia mulai  menyatukan diri di bawah satu semangat cara pandang atau ideologi yang bisa menerima perbedaan dari ketiga golongan dan mengambil apa yang terbaik dari semua karena rakyat dilihat sudah cukup memiliki pengalaman dan kedewasaan.

Hal ini mengingat Indonesia sudah merdeka selama lebih dari 70 tahun dan telah melalui berbagai pengalaman berharga yang bisa diambil hikmahnya sehingga mampu menampung perbedaan yang ada dalam satu sudut pandang yang sama yaitu Pancasila.

Baik haluan kanan, tengah, dan kiri sudah saatnya bersatu di bawah Pancasila sebagai cara pandang bersama yang diwariskan oleh para pendiri Republik ketika mencetuskan kemerdekaan Indonesia.

Visi dan Misi dari berbagai partai dan golongan serta seluruh rakyat difokuskan menjadi satu yang sama, sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu:

"... untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :

Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan yang adil dan beradab,

Persatuan Indonesia, dan

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,

serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."


Dalam kondisi ini konsep multi partai atau kepartaian bisa dihilangkan dan semua pemikiran bisa bersatu dibawah semangat Pancasila dengan ruh kebersamaan gotong royong.

Mari kita lihat bagaimana ini bisa dimungkinkan:

Sebagaimana yang diterapkan dalam mekanisme pemilihan RT, dan kemudian RW, bahwasannya kandidat Ketua RW adalah para pengurus inti  (Ketua, Sekretaris, & Bendahara) dari RT-RT di wilayah sebuah RW, maka demikianlah semestinya dalam pemilihan Lurah/Kepala Desa.

Kepala Desa/Lurah dan pengurus inti sebuah Desa/Kelurahan sebaiknya dipilih dari para pengurus RW di wilayah Kelurahan/Desa tersebut.

Kita bisa membuat sebuah mekanisme naik pangkat dengan asas musyawarah dan mufakat. Setiap yang dilihat paling baik dalam memimpin RT  adalah yang diangkat sebagai ketua RW, demikian seterusnya, setiap yang terbaik dalam memimpin RW lah yang sepantasnya dipilih untuk menjadi Kepala Desa atau Lurah.

Teknis mekanisme pemilihan diserahkan kepada warga Desa/Kelurahan, baik dengan pemilihan langsung seluruh warga di Lurah/Desa dengan membuat Pemilu, atau cukup dengan musyawarah dan mufakat antar pengurus RT dan RW.

Dari pola ini kita bisa melihat, bahwa kenaikan pangkat dari RT, menuju RW, dan kemudian Kepala Desa atau Lurah adalah sebuah mekanisme yang menjadikan tidak sembarang orang bisa menjadi Lurah atau Kades melainkan telah melalui proses karir dari posisi paling bawah sebagai pengurus RT, RW, dan/atau Kelurahan/Desa.

Seorang Lurah/Kades akan bisa diperhatikan masyarakat rekam jejak dari bakti dan kualitasnya yang tampak dari semasa dia bertugas sebagai RT dan RW.

Bertahap jadinya, dari mulai kesuksesan memimpin setidaknya 40 KK, kemudian naik menjadi setidaknya 120 KK, dan sebagai Lurah/Kades memimpin bisa sampai 2000 KK atau lebih, yang berarti dalam satu Kelurahan atau Desa bisa terdapat 15 RW atau lebih, yang terdiri dari 45 RT atau lebih.

Atasan Lurah/Kades adalah Bupati atau Walikota. Secara filosofis, dalam memimpin para Lurah/Kades, Bupati/Walikota dibantu sebuah struktur koordinasi, yaitu Camat. Camat ini sebagaimana fungsi RW adalah dalam hal perihal koordinasi. RW bukanlah atasan langsung dari para RT, atasan langsung setiap RT adalah Lurah/Kades, sementara fungsi RW adalah membantu Lurah/Kades terutama dalam fungsi koordinasi dengan setiap RT.

Dalam hal ini, demikian juga Camat. Filosofi yang digunakan dalam struktur tata negara kita menyatakan bahwa Camat adalah pembantu Bupati/Walikota dalam fungsi koordinasi dengan para Lurah/Kades dan bukan menjadi atasan langsung.

Bagaimana memilih Camat sebagai pembantu Bupati atau Walikota?

Kita ajukan gagasan yang sama dengan proses pemilihan RW dan gagasan pemilihan Lurah/Kades di atas. Bahwa calon Camat mestilah dari setiap pengurus inti dalam sebuah organisasi Kelurahan/Desa, yang dimusyawarahkan oleh para Lurah/Kades dan jajaran di atasnya, yaitu Bupati/Walikota.

Demikian pula dalam pemilihan Bupati/Walikota. Para calon adalah pengurus inti dari sebuah Kecamatan, dan tentunya lebih mudah apabila para calonnya adalah para Camat terpilih.

Jadi satu wilayah Kota yang dipimpin Walikota, semisal terdiri atas 7 Kecamatan, maka calon Walikota dan wakilnya adalah para Camat terpilih.

Dari wilayah dengan 7 orang Camat, kita akan memiliki 3 pasang calon Walikota dan wakil Walikota. (7 dibagi 2)

Sementara sebuah wilayah Kabupaten yang misalnya memiliki 11 orang Camat, kita akan memiliki 5 pasang calon Bupati dan Wakil Bupati (11 dibagi 2), yang dengan mekanisme musyawarah di DPRD Kabupaten bisa disusutkan menjadi 2 atau 3 pasang calon.

Selanjutnya dari 2 atau 3 pasang calon, proses pemilihan bisa melalui musyawarah atau dengan Pemilu yang dipilih langsung oleh warga atau rakyat sekabupaten.

Jadinya konsep Pemilu yang melibatkan seluruh warga bisa digunakan untuk pemilihan RT, Lurah/Kades, dan Bupati/Walikota.

Sementara untuk RW, Camat, dan Gubernur tidak perlu melalui Pemilu. Pemilihan Gubernur bisa melalui musyawarah antar Bupati/Walikota dengan melibatkan unsur anggota DPR, untuk sepakat memilih Gubernur diantara para Walikota/Bupati yang berada dalam satu wilayah Provinsi.

Selanjutnya kita masuk pada struktur Pemerintahan Pusat, dimulai dari lembaga MPR/DPR.

Mengenai Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, hendaknya lembaga ini diisi oleh orang-orang profesional, yang mewakili bidang-bidang penting yang berhubungan dengan tata negara dan pemerintahan, serta pembangunan dan semua asfek kebutuhan sosial masyarakat yang diperlukan.

Mari sekilas kita perhatikan Komisi-komisi yang saat ini ada di DPR:


·       Komisi I Pertahanan, intelijen, luar negeri, komunikasi, dan informasi.
·       Komisi II Pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, aparatur negara, agraria, dan pemilihan umum.
·       Komisi III Hukum, HAM, dan keamanan serta ketertiban.
·       Komisi IV Pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.
·       Komisi V Perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat dan pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal.
·       Komisi VI Perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM dan BUMN, dan Standardisasi Nasional.
·       Komisi VII Energi sumber daya mineral, riset dan teknologi, dan lingkungan hidup.
·       Komisi VIII Agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan/keluarga.
·       Komisi IX Tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan dan kesehatan.
·       Komisi X Pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan kebudayaan.
·       Komisi XI Keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank.

Melihat betapa nilai keprofesionalan menjadi hal yang utama dalam Komisi-komisi di DPR, maka anggota DPR hendaknya tidak dipilih melalui mekanisme yang memperbolehkan calon bisa muncul dengan bebas dari manapun, namun calon anggota DPR sebagaimana komisi-komisi yang ada mestilah muncul dari mereka yang menguasai atau dikenal mumpuni di bidang-bidang tersebut.

Sehingga saringan dan pemilihannya perlu dilakukan oleh orang-orang yang kompeten dan berhubungan dengan bidang-bidang tersebut, dalam hal ini badan-badan akademis yang netral, atau organisasi-organisasi kemasyarakatan yang sesuai dengan bidang suatu komisi tertentu, bisa mengajukan calon-calon berdasarkan pertimbangan intelektualitas dan kapabilitas, serta keprofesionalan yang ada sebelum dipilih oleh rakyat.

Jumlahnya tidak perlu banyak, 10 sampai 12 orang terbaik dari seluruh rakyat Indonesia dalam bidang sesuai Komisi yang ada sudah cukup untuk mewakili rakyat dalam kebutuhan yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab setiap komisi.

Lebih lanjut mengenai MPR, anggota MPR terdiri dari para anggota DPR dan  para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Dalam hal ini saya mengangkat gagasan bahwa tidak ada perwakilan yang terbaik untuk daerah, melainkan para Gubernur, Walikota, dan Bupati dari setiap daerah.

Sebagai para Pemimpin daerah, mereka bisa menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai badan eksekutif di daerahnya masing-masing dan sebagai badan legislatif ketika berada di Pusat dalam struktur anggota MPR yang bersidang setidaknya lima tahun sekali dan/atau apabila ada kejadian yang genting/luar biasa di negara.

Dalam posisi sebagai eksekutif, pemerintahan atau garis komando mengikuti Presiden, tetapi dalam fungsi sebagai perwakilan rakyat, maka ketetapan MPR adalah yang paling tinggi di Negara.

Dengan seperti ini, maka fungsi Gubernur, Walikota, dan Bupati benar-benar mewakili daerah atau tanahnya di Pusat dalam menyambung aspirasi yang berhubungan dengan apa yang ada dalam kebutuhan rakyatnya masing-masing.

Dalam hal ini, apabila kita perhatikan jumlah MPR, maka akan didapatkan jumlah 570 Bupati dan Walikota dari seluruh Indonesia, ditambah 33 Gubernur, kemudian 110 orang Anggota DPR apabila masing-masing komisi diwakili 10 orang anggota, total jumlahnya adalah 700an orang, sebagaimana kisaran jumlah anggota MPR kita saat ini.

Memandang tatacara pemilihan sebagaimana yang diuraikan di atas, mekanisme pemilihan Presiden pun jadinya mengikuti jenjang karir dari RT. Sehingga pada akhirnya calon Presiden berasal dari para Gubernur terpilih, yang berarti dari 33 Provinsi, akan ada 16 pasang calon Presiden dan Wakil Presiden.

Dari 16 pasangan calon, tinggal disusutkan melalui musyawarah atau pemilihan di MPR sehingga hanya tersisa katakanlah 3 pasang calon saja.

Barulah kemudian dilakukan Pemilu agar Presiden dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih.

Mengikuti pola di atas, apabila pemilihan untuk setiap level/tingkat dari RT sampai dengan Presiden dilakukan satu tahun sekali, maka di tahun pertama setelah Pemilu pemilihan Presiden dan MPR, dilakukan pemilihan Lurah/Kepala Desa dan seterusnya sampai di tahun kelima dilakukan kembali Pemilihan Presiden dan MPR.

Demikian diantaranya beberapa gagasan yang saya angkat tentang sistem kepemimpinan dan pemerintahan di Indonesia, hal utama yang ingin ditekankan adalah:

Pertama, perlunya kesadaran akan pentingnya posisi RT sebagai ujung tombak pemerintahan, seorang Ketua RT mestilah mengikuti pendidikan khusus dari Pemerintah dan mendapat fasilitas sepadan dengan beban yang diembannya dalam menjalankan fungsi dan peran kepemimpinan serta kepemerintahan.

Yang kedua, adalah tidak diperlukannya keberadaan partai, melainkan partai yang banyak bisa jadi organisasi kemasyarakatan saja. Partai bisa mengusung dan menyampaikan ideologi dan pemikirannya di sebuah wadah, semisal lembaga pendidikan kepemimpinan dan pemerintahan, tempat semua Abdi Negara mendapatkan pendidikan yang diperlukan agar pemerintahan dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar